“Iiih...lagi-lagi oseng tempe!!” gerutu Imah sambil menutup kembali tudung saji di atas meja. “Nggak ada lauk lain toh, Bu? Bosan aku Bu. Masakan Ibu begitu-begitu saja. Aku sarapan bubur ayam di dekat sekolah saja lah”, Imah terus menggerutu sambil berkemas untuk berangkat ke sekolah.
Begitulah Imah. Ibu hanya mengelus dada mendengar gerutuannya. Bukan sekali dua kali ia mengeluh atas masakan yang tersedia. Padahal, ibu selalu berusaha menyediakan menu sarapan lengkap bergizi. Memang lauk ayam dan daging jarang tersedia, tetapi bukankah tempe dan tahu pun bernilai gizi tinggi? Pikir ibu.
Imah pun mengayuh sepedanya ke sekolah. Sudah terbayang olehnya lezatnya sarapan bubur ayam di pinggir jalan itu. Dari jauh sudah dilihatnya antrian pembeli di sekitar tukang bubur langganannya. Ikut mengantri, Imah memperhatikan sekelilingnya. Sebagian pembeli adalah para pegawai yang siap berangkat ke tempat kerja, sebagian lagi siswa yang belum sempat sarapan di rumah.
Di antara antrian, ada Banu teman sekelas Imah. “Hai Banu, sering juga kamu sarapan bubur ayam di sini”, sapa Imah.
“Ya sering lah. Bagaimana lagi? Ibuku tidak mungkin menyediakan sarapan tiap pagi. Sebelum subuh ia sudah berangkat ke pasar. Ia harus bersiap-siap untuk berjualan di sana”, kata Banu.
“Sesungguhnya, aku lebih menikmati masakan ibuku. Lebih lezat, lebih sehat, dan yang pasti dibuat dengan penuh kasih sayang. Tapi aku paham, bukan karena tidak sayang ibuku tidak membuat sarapan untukku. Tetapi hanya karena ia tidak punya cukup waktu, untuk mengerjakannya, beliau membantu ayah menghidupi keluarga,” tambah Banu.
“Makanya, kami sangat menikmati suasana makan malam. Makan masakan ibu, sesederhana apa pun menunya, selalu terasa lebih nikmat.” Banu terus berbicara, tanpa memperhatikan Imah yang hanya termenung mendengarkan.
Tiba giliran Imah menerima mangkuk buburnya.
Tiba-tiba, rasa bubur ayam yang biasanya nikmat, seperti mengganjal di tenggorokannya. Imah teringat oseng tempe buatan ibu yang dibiarkannya tergeletak di meja tadi pagi.Menyesal rasanya. Imah terkesima dengan keluh Banu, yang hanya mampu berharap sarapan dengan masakan ibunya. Sementara ia, bahkan mengucap terima kasih pun tidak.
Segera dihabiskannya bubur semangkuk itu. Bersiap diri untuk mengayuh sepeda menuju ke sekolah. Namun, sejenak Imah terhenti. Dilihatnya sebuah pemandangan yang menyesak hati di pojok jalan. Sekelompok anak berbaju lusuh terlihat mengerubungi sebuah mangkuk bubur. Mereka berbagi semangkuk bubur yang diberikan bapak penjual. Tertawa-tawa mereka, sambil berebut menyendok bubur, tak peduli hanya sesuap dua suap yang diperoleh.
Imah mengayuh sepedanya pelan. Ia berbisik dalam hatinya. “Begitu banyak yang harus aku syukuri setiap hari. Masih perlukah aku mengeluh....., hanya karena masakan ibu yang tak sesuai dengan seleraku?”
Penulis : Santi Hendriyeti